Stigma : Terlihat buruk bukan berarti buruk




Terlihat buruk bukan berarti ia pasti buruk
Terlihat baik bukan berarti ia pasti baik
Kita sering kali terjebak pada frase baik dan buruk dinilai secara tampilan lahiriah. Manusia cenderung memahami bahwa keindahan, rajin ibadah, sesuatu yang menyenangkan dan nyaman sebagai sesuatu yang baik, padahal belum tentu demikian. Khawarij yang memiliki akidah yang menyimpang dan jahil pun sangat rajin dalam hal ibadah, tapi dalam sejarah tercatat hal paling berdarah dan buruk yang pernah mereka lakukan, yaitu membunuh para Khalifah, khususnya Khalifah Usman bin affan dan Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh kelompok ini (Khawarij) padahal mereka ini sangat rajin beribadah.

begitupun sebaliknya, sesuatu yang terlihat buruk belum tentu buruk, misalnya saat ibunda nabi Musa menghanyutkan Musa kecil di sungai Nil di dalam kotak peti, lalu Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk diperintahkan menyembelih putranya yaitu nabi Ismail atau saat Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail kecil di lembah sunyi di gurun pasir yang sekarang jadi Makkah. Apakah hal itu buruk. Secara mata lahiriah bisa saja terlihat buruk tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Apa yang terlihat baik di mata kita, belum tentu itu sesuatu yang baik padahal bisa jadi itu adalah sesuatu yang buruk, dan apa yang dilihat oleh buruk oleh mata kita, belum tentu itu sesuatu hal yang buruk padahal bisa jadi itu adalah sesuatu yang baik.

Dalam hal lain kita bisa mengambil kecenderungan sifat manusia menilai sesuatu yang baik kepada sesuatu yang Indah. Misalnya ketika melihat se-ekor kupu-kupu terjebak di jaring laba-laba, maka ada kecenderungan ingin menolongnya, melepaskannya dari jaring laba-laba, seolah-olah kupu-kupu itu baik dan laba-laba itu buruk atau jahat. Bahkan dalam beberapa kasus justru hal itu benar-benar terjadi, yaitu mereka yang melihat kupu-kupu terperangkap langsung menolong dan membebaskan kupu-kupu tersebut. Padahal bisa jadi si laba-laba juga sudah menunggu waktu yang lama untuk bisa mendapatkan mangsa, bisa jadi si laba-laba kelaparan karena belum ada mangsa yang terjaring.

Sedangkan dalam kasus kehidupan manusia, terlebih di era digital dan sosial media alias dunia maya, yang hampir semuanya isinya juga semu. Di sosial media seseorang bisa menyulap dirinya menjadi orang yang begitu baik, ramah dan sopan tapi realita di kenyataan ternyata begitu pemarah, pendendam dan tak respect.

Sepasang kekasih terlihat begitu romantis di sosial media, tapi realita di kehidupan nyata hampir tiap hari bertengkar. Dunia realita saja yang kita jalani sudah dipenuhi dengan berbagai macam kepalsuan, fana dan serba hipokrit. Apalagi di dunia maya, mungkin kepalsuannya sudah KW 11, palsu yang benar-benar palsu.

2 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama