Burnout Society, Fenomena Kelelahan Sosial Masyarakat Kontemporer


Dalam beberapa tahun terakhir, ketika saya membaca tentang kesejahteraan mental, tingkat stress dan depresi masyarakat kekinian (masyarakat kontemporer) cenderung mengalami trend yang naik, itu artinya banyak orang di zaman ini yang mengalami tekanan sosial, stress dan depresi.

Di beberapa negara maju, dengan pengembangan sektor industri yang serba kompetitif dan memiliki kultur individualis, fenomena kelelahan sosial atau burnout society, telah terjadi sebelum narasi ini dimunculkan ke khalayak publik.

Negara-negara industri seperti Jepang, Korea, Jerman, Amerika, Singapura, kemudian kota besar dunia seperti Hongkong, New York serta negara pelaksana yang menjadi ladang industri dari negara besar, seperti India, China, Vietnam dan lainnya, sebagian besar masyarakatnya mengalami fenomena burnout society atau kelelahan sosial. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan burnout society atau kelelahan sosial ini?

Burnout society, yaitu kondisi di mana individu mengalami tekanan yang begitu berat dan merasa depresi tak berkesudahan akibat nilai-nilai sosial dan persepsi kolektif terhadap standar kebahagiaan yang ideal, yang didasarkan pada kepemilikan materi, serta hidup dalam persaingan yang amat kompetitif.

Ada yang bekerja setiap hari, namun ia tidak pernah menikmati hasil dari pekerjaan yang dilakukannya. Pekerjaan terus menumpuk, bertambah banyak, persaingan di tempat kerja tak terelakan, serta nilai-nilai sosial yang membelunggu terkait definisi kesuksesan telah membuat seseorang menjadi begitu tertekan dan kelelahan secara sosial, menimbulkan kecemasan terkait masa depan, karir, pernikahan, rumah tangga dan lain sebagainya.

Ada yang telah bekerja dengan begitu lelahnya, namun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia hanya hidup untuk bekerja, kemudian esoknya bekerja lagi dan bekerja lagi, tak ada perubahan apapun di dalam hidupnya, stagnan. Ia tak bisa menikmati hasil pekerjaannya.

Sedangkan, di satu sisi, ada yang hidup dengan begitu pesat, hidup dalam kenyamanan bahkan kemewahan, dia diuntungkan oleh pekerjaan orang lain yang bekerja padanya. Pada prinsipnya memang tak ada yang salah ketika seseorang bekerja untuk orang lain. Tapi, akan menjadi sangat tidak adil ketika si tuan, atasan atau bos hidup dengan begitu sejahteranya, sedangkan para pekerjanya hidup dengan tidak sejahtera (kalau tidak mau disebut susah). Tak diperhatikan terkait kesejahteraan sosial dan kesejahteraan mentalnya.

Kelelahan sosial biasanya hanya ditemukan di tengah masyarakat urban atau perkotaan, yang di mana tingat kompetisi dan persaingan antar individu begitu ketat. Di negara seperti Jepang, bagi yang tidak kuat menanggung kelelahan sosial ini, ada yang memilih bunuh diri atau yang sedikit lebih baik adalah fenomena hikikomori, yaitu menarik diri dari kehidupan sosial, mengurung diri dan menyendiri.

Tapi, untuk masa sekarang, masyarakat pedesaan juga mulai terpengaruh oleh burnout society, ketika kehidupan dan gaya dari perkotaan di bawa pulang oleh para perantau yang kembali ke desanya. Ketika dahulu kehidupan masyarakat desa hidup secara kolektif, gotong royong dan bersama-sama, perlahan mulai tergerus dengan budaya individual, yang ingin terlihat menonjol, terlihat lebih kaya dan "berada" di antara satu sama lain.

Selain itu, dengan hadirnya sosial media, yang awal fungsinya sebagai media komunikasi, telah berubah menjadi media eksistensi, yang di mana, beberapa persepsi terkait standar hidup yang ideal, pencapaian dan lain sebagainya, ditampilkan dengan begitu vulgar di media sosial. Pamer kekayaan, kemewahan, pencapaian-pencapaian sosial dan lain sebagainya, yang pada akhirnya membentuk persepsi sosial secara kolektif terkait definisi bahagia, kehormatan dan pengakuan eksistensi.

Misalnya, jika ingin terlihat keren, maka harus memakai outfit ini, harus punya ini dan itu, seseorang akan terlihat lebih keren ketika bisa pamer jabatan dan pekerjaan, tentang kantor dan lain sebagainya. Hal-hal demikian sangat berdampak terhadap pembentukan kelelahan-kelelahan sosial di tengah masyarakat kontemporer, yang akhirnya membuat mereka kelelahan dengan persepsi sosial yang ada di pikirannya. Selain itu, kini masyarakat bukan hanya bersaing dengan sesama manusia, tapi juga dengan mesin, bahkan saat ini telah muncul artificial intelligence (kecerdasan buatan), yang telah menggantikan beberapa posisi dan pekerjaan manusia.

Burnout society adalah konsekuensi nyata yang lahir dari perkembangan dan pertumbuhan industri dan kemajuan teknologi, serta dibarengi dengan pemahaman materialistik, ada beberapa pilihan untuk menghadapi burnout society.

1. Melepaskan diri dari nilai-nilai sosial materialistik yang membelenggu dan hidup berbaur tanpa mempedulikan nilai-nilai sosial materialistik yang sudah mendarah daging secara kolektif di masyarakat. Misalnya, tidak masalah tak punya mobil, tak masalah acara pernikahan tak mewah, tak mengapa rumah sederhana apa adanya. Kita tak mempedulikan nilai-nilai penghormatan dan pengakuan yang didasarkan pada asas-asas materialistik. Tapi, kita menghormati dan menghargai seseorang karena asas humanistik, atas tingkah laku dan Kebermanfaatan serta keberadaan dan kehadirannya di tengah masyarakat.

2. Bertarung dengan nilai-nilai sosial materialistik tersebut, dengan cara menggapai nilai-nilai materialistik (walaupun sangat tidak mungkin), karena, keserakahan dan ketamakan tak ada hentinya. Intinya, kamu berusaha menjadi kaya, mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, kalau bisa, sebanyak mungkin.

3. Hidup secara asketis, menghindari kehidupan dunia, hidup di pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota, hidup hanya dengan bercocok tanam, bersahabat dan mengandalkan alam sebagai sumber penghidupan.

4. Menjadi asketis sejati, ini biasanya hanya ada di zaman baheula, zaman kerajaan, yaitu menjadi pertapa di gunung-gunung, di hutan, atau tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk dunia. Bisa juga dengan menjadi hikikomori, mengasingkan diri, menghindari pergaulan sosial, hidup menyendiri seperti kaum muda Jepang.

Sebenarnya, ini masih pembahasan kulit, untuk lebih jauh memahami terkait kondisi dan kultur masyarakat kontemporer saat ini, tentang apa itu burnout society dan bagaimana prediksi kultur sosial masyarakat di zaman serba digital dan masa yang akan datang, bisa membuka dan membaca ulang tulisan Haidegger, Byung Chul Han atau tokoh pemikir yang sejenis.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama