Jenis Makanan Dalam perspektif Filsafat Irfani



Semua makhluk hidup atau organisme bernyawa, apapun jenisnya, pasti membutuhkan asupan makanan untuk menjaga kehidupannya. Semua makhluk hidup membutuhkan makanan, hanya saja mungkin jenis makanannya yang berbeda-beda, ada yang memakan daun, memakan rumput, kacang-kacangan, daging mentah, organik kecil, energi alam dan lain sebagainya.


Namun, dalam hal ini, kita akan membahas jenis makanan bagi makhluk hidup yang bernama manusia, selama ini, yang banyak awam ketahui, makanan bagi manusia hanyalah makanan yang terlihat oleh mata, atau makanan fisik, ternyata, di dalam filsafat irfani, makanan terbagi menjadi beberapa jenis menurut peruntukannya.


Apa yang masuk ke dalam tubuh dan jiwa, akan mempengaruhi bagaimana tubuh dan jiwa bereaksi. Sering memakan makanan yang misalnya buruk secara gizi, akan membuat tubuh menjadi penyakitan. Oleh sebab itu, maka wajib kiranya bagi manusia untuk mengenali jenis-jenis makanan yang masuk ke dalam dirinya.


Makanan terbagi menjadi empat, yaitu makanan badaniah (fisik materi), makanan akal (aqliyah), makanan jiwa (nafsiyah) dan makanan ruhani (ruhiyah).


1. Makanan Badaniah (fisik materi)

Ini adalah makanan yang umum dan jamak kita ketahui, yaitu makanan untuk memenuhi kebutuhan perut, seperti memakan nasi dan lauk pauk. Apa yang dimakan oleh badaniah, akan berpengaruh terhadap aqliyah (akal), oleh karena itu, penting kiranya untuk memperhatikan apa yang masuk ke dalam tubuh, tujuan makan adalah mempertahankan kehidupan sebaik mungkin, namun, kini tujuan makan telah banyak berubah, bukan lagi untuk mempertahankan kehidupan, tapi makanan ditunjukkan untuk menunjukkan strata sosial. Misalnya, makan tempe, ikan asin, lalaban dan sambal adalah makanan kaum menengah ke bawah. Sedangkan, daging, yoghurt, susu, telur dan berbagai macam camilan mahal adalah makanan orang kaya, padahal bukan demikian. Mau apapun jenis makanannya, selama makanan itu halal dan memenuhi unsur gizi untuk memelihara hidup, maka itu pun sudah cukup.


Selain baik dan halal makanannya, cara memperolehnya pun harus dengan cara yang baik, karena, hal itu akan berpengaruh terhadap nafsiyah (jiwa), maka berhati-hatilah dan waspada, perhatikan bagaimana cara kita memperoleh makanan yang kita makan.


2. Makanan Akal (Aqliyah)

Selain makanan fisik, manusia juga perlu memberikan asupan makanan untuk akal, agar akal senantiasa hidup dan bertumbuh. Diri manusia tidak hanya terdiri dari badan fisik, tapi juga, akal, jiwa dan ruhaniyah.


Bagaimana cara memberi asupan makanan untuk akal, yaitu dengan belajar, haus akan ilmu, utamanya adalah ilmu tentang kehidupan (pengetahuan tentang sang jiwa), teknisnya, bisa dengan membaca, mengikuti majelis, menonton film, mendengarkan podcast atau apapun itu, ia tak pernah puas dengan ilmu dan pengetahuan yang telah didapat, terus menerus belajar dan mencari wawasan dan pengetahuan baru di setiap waktunya.


Utamanya ilmu-ilmu yang bisa semakin membuat matang sang diri, ilmu yang membuat kita semakin memaknai kehidupan yang dijalani, ilmu yang membuatnya semakin dewasa dan matang dalam menyikapi apapun yang hadir di dalam kehidupan.


Tapi, sama halnya dengan makanan fisik, makanan akal pun akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku kita, ibarat jika memakan makanan yang buruk untuk tubuh, maka tubuh akan penyakitan. Itu sama halnya dengan akal, jika asupan yang masuk ke dalam akal kita adalah sesuatu yang buruk, maka akan menjadikan pikiran kita memiliki cara pandang yang negatif. Oleh karena itu, perhatikanlah terhadap apa yang kita tonton, apa yang kita baca dan apa yang kita dengar, pilah dan pilih apa yang akan masuk menjadi makanan sang akal.


3. Makanan Jiwa (Nafsiyah)

Makanan bagi jiwa adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan psikologis jika dilihat dari perspektif ilmiah. Apa saja makanan bagi sang jiwa, makanan bagi jiwa yaitu adalah cinta kasih, kepedulian, kasih sayang, kesabaran, kepekaan dan segala emosional yang dikelola dan kembangkan secara positif, sekalipun itu misalnya marah, kebencian, kecewa ataupun sedih, selama bisa dikelola secara bijaksana dan positif, maka jenis emosional apapun akan menjadi makanan yang baik bagi sang jiwa.


Bagaimana cara kita mendapatkannya, yaitu dengan cara memberi makanan jiwa sang diri kepada yang lain. Misalnya, jika ingin dicintai, maka kita pun harus bisa mencintai, memberikan setulus rasa cinta kasih kita kepada semua orang, bahkan semua makhluk. Jika ingin disayangi, maka kita pun harus mau dan mampu untuk menyayangi; jika ingin dipedulikan, maka kita pun harus belajar untuk bisa peduli. Rasa emosional apapun yang kita berikan kepada semua makhluk, akan kembali kepada diri kita dengan bentuk yang bahkan lebih baik dari apa yang kita berikan, kuncinya adalah ketulusan, bukan mencari perhatian makhluk atau sekedar ingin dinilai baik. Sekalipun nanti dikecewakan atau diri kita dibuat marah dan jengkel oleh orang yang telah kita berikan kebaikan, kita tidak akan membencinya, tapi mendoakan yang terbaik bagi orang tersebut, agar diberikan kesadaran dan petunjuk hidup yang bisa menuntunnya menjadi seseorang yang lebih baik lagi.


4. Makanan Ruhani (ruhiyah)

Makanan ini disebut juga makanan spiritual, tergantung dari keyakinan dan iman yang dianut oleh individu tersebut. Makanan spiritual adalah makanan batiniah, jika di dalam Islam, salah satunya yaitu adalah dzikir, puasa, menjalankan ibadah wajib dan sunnah, yang dijalankan dengan penuh penghayatan dan pengamalan makna dari ibadah-ibadah tersebut. Misalnya dzikir, bukan sekedar mengucap asma Allah beribu-ribu kali, tapi memaknai dan menghayati arti dari asma yang didzikirkan, misalnya ketika berdizikir lafadz "Astagfirullah", ia mengingat kesalahannya, seolah-olah ia melihat kesalahan dan dosa-dosanya di depan mata, sambil memohon ampunan atas dosa dan khilaf yang telah dilakukannya, baik yang disengaja maupun yang tak disengaja.


Dzikir bukan sekedar membaca lafadz, tapi juga mengingat, maka ketika ia berdzikir untuk memenuhi asupan ruhaniyahnya, maka yang dipahami bukan sekedar membaca lafadz, tapi ia mengingat Allah, ia yakin dengan sepenuh pengahayatan, jika Allah selalu melihat dan mengawasinya, sehingga ia tak mau bertingkah yang bisa membuat kemurkaan Allah menimpa dirinya.


Itulah kiranya jenis-jenis makanan dari perspektif filsafat irfani, wallahu a'lam. Semoga Allah ridho dengan segala niat dan tujuan baik, amiin.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama