Well Happiness in Spirituality : Memaknai Kebahagiaan


SANIKRADUFATIH - Hari-hari ini, banyak orang mengejar kebahagiaan, kemudian menyandarkan kebahagiaannya kepada objek yang fana atau temporer. Seperti misalnya menyandarkannya pada uang atau material oriented. Sedangkan, sifatnya material itu fana, maka sampai kapanpun, manusia takkan bisa memenuhi hasrat kebahagiaan melalui orientasi kebendaan.

Karena, setiap kebahagiaan yang bersifat material itu didapatkan, maka tak lama kemudian ia akan lenyap dengan seketika.

Lalu bagaimana agar hidup bisa bahagia, apakah itu satu-satunya tujuan manusia untuk hidup, untuk meraih kebahagiaan, apakah hanya sebatas itu?

Jika seandainya, kita telah mendapatkan kebahagiaan tersebut, lalu apa yang akan dilakukan?

Maka, disini, yang akan kita bahas terlebih dahulu adalah memaknai kebahagiaan, apa itu kebahagiaan, seperti apa dan bagaimana bentuknya, apa bahagia itu memiliki bentuk?
Bahagia pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau momentum saja, ia bukanlah tujuan, ia bersifat konstan, dan bukan objek.

Seperti misalnya, saat kita ingin sekali makan es krim, kemudian kita bisa beli es krim dan memakannya, saat es krim itu melewati kerongkongan dan kita bisa merasakannya, maka kita akan merasa bahagia, namun hanya sesaat, setelah es krim habis, kebahagiaan itu lenyap.

Lalu, bagaimana dan seperti apa sebenarnya hakikat kebahagiaan itu? , bahagia yang sesungguhnya adalah di saat kita bisa melepas dan menerima realitas yang terjadi pada diri kita dengan sebagaimana adanya.

Maksudnya adalah seperti ini, pahamilah bahwa selepas kebahagiaan maka akan hadir penderitaan di sisinya, begitu pun sebaliknya, ketika ada penderitaan, maka akan ada kebahagiaan yang menyertai.

Misalnya begini, kita senang dan bahagia saat bisa makan es krim, tapi saat es krim habis, kita sedih karena es krim kita sudah habis. Maka, sebenernya, untuk bisa merasakan bahagia yang sesungguhnya adalah melampaui keduanya, yaitu melampaui kebahagiaan dan penderitaan itu sendiri.

Untuk mencapai kondisi ini memang tidak mudah, kita menyebutnya sebagai amorfati, yaitu di mana kondisi kebahagiaan kita bukan disebabkan karena suatu kondisi, tapi karena disebabkan bagaimana kita merespon peristiwa yang terjadi terhadap diri kita.

Misalnya begini, ketika kita mengirim pesan kepada seseorang yang kita cintai, kemudian ia hanya membalas singkat bahkan seringkali hanya diread, lalu kira-kira bagaimana responmu? 

Apakah itu hal yang menyebalkan dan membuatmu bersedih, oh ternyata tidak juga, setiap kondisi bisa menjadi sedih atau bahagia itu tergantung bagaimana kita meresponnya dan memberikan feedback terhadap peristiwa tersebut.

Kalau kita tak ingin sedih, maka kita tak akan sedih, sedih dan bahagia itu atas izin dan perkenan diri kita terhadap peristiwa tersebut.
Coba sekarang kita ganti responnya menjadi seperti ini, misalnya ketika pesan kita hanya dibalas singkat, kemudian kita berucap "Alhamdulillah, setidaknya pesanku masih dibalas walaupun singkat"

Kalau pesan kita cuma diread, kita berucap, "Alhamdulillah, setidaknya pesanku masih dibaca"

Terus kamu nanya lagi, pesan aku gak pernah diread, kemudian kamu berucap, 
"Oh yaudah gpp, Alhamdulillah, pesanku udah terkirim dan tersampaikan walau pun tidak pernah dibaca".

Jika kita mengganti dengan cara berpikir demikian, apakah kita akan merasa sedih? Tentu saja tidak.

Untuk memiliki sifat yang demikian dibutuhkan kematangan spritual, ketika seseorang telah menyelami spiritualitas dirinya, maka ia bisa memilih sendiri terkait respon emosional apa yang ingin ia berikan kepada peristiwa tersebut, ia telah bisa memisahkan antara dirinya dengan peristiwa.

Ia tak terjebak dalam peristiwa, tapi memisahkan antara dirinya dengan peristiwa, sehingga ia bisa melihat dengan jernih dan jelas atas segala sesuatu yang terjadi.***
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama