SCALEUPJOURNEY - Hai sahabat baik Journian, gimana kabarnya, semoga sahabat Journian dalam keadaan sehat dan baik ya.
Alhamdulillah, kita ketemu lagi nih, InsyaAllah kita akan bahas tentang sesuatu yang berkaitan dengan ketahanan psikologis, yaitu membangun mental resilience.
Journian semua pasti pernah mengalami atau menghadapi suatu masalah, kalau masalahnya cuma satu atau dua, mungkin masih bisa untuk ditangani atau dihadapi, apalagi kalau posisi kitanya lagi baik atau lagi bagus, atau lagi posisi di atas, sepertinya masalah juga gak akan dianggap masalah-masalah banget, karena, kondisi hati dan jiwa kita sedang lapang.
Tapi, gimana kalau misalnya posisi lagi down, udah gitu, masalah yang datang gak cuma satu, tapi banyak banget, selain banyak, bertubi-tubi pula datangnya.
Misalnya, posisi lagi kehilangan pekerjaan, kemudian kehilangan orang yang kita sayang (ayah atau ibu meninggal) atau mereka bercerai, dikhianati ama pasangan, ditipu temen, usaha bangkrut, kondisi fisik lagi jatuh sakit, orang-orang yang dulu dianggap dekat, kemudian hilang dari radar, gimana rasanya, masih kuat?
Baca juga : Belajar Bebenah ala Teteh Konmari, Seni Hidup Minimalis dan Bebenah Hidup
Kalau kita gak punya mental resilience, mungkin udah depresi berat, mental udah hancur-hancuran, bahkan, kalau mentalnya rapuh, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, terjerumus ke dunia hitam atau kedua memilih suicide (mengakhiri hidup).
Apa sih mental resilience itu? yaitu ketahanan psikologis, lalu bagaimana cara kita membangun mental resilience?, nah InsyaAllah, berikut ini, kita akan berbagi insight tentang apa itu mental resilience dan bagaimana cara membangunnya di dalam diri.
Mental resilience adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi stress dan tekanan dalam hidup.
Bukan hanya kita orang biasa yang bisa mengalami tekanan hidup, bahkan, se-level Nabi dan Rasul pun pernah mengalami masalah dan tekanan hidup yang amat berat, apalagi dengan ditambah risalah yang mereka pikul dan emban, makin berat saja.
Baca juga : Prinsip Hidup 2T
Di antara para Nabi dalam agama samawi, yang pernah mengalami tekanan hidup yang amat sangat berat adalah Nabi Ayub Alahissalam dan para rasul yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Bayangkan, bagaimana kondisi Nabi Ayub yang saat itu harus kehilangan harta bendanya dan jatuh miskin, anak-anaknya meninggal, kemudian dirinya terkena penyakit kulit menjijikkan yang memenuhi sekujur tubuh dan ditinggalkan oleh sang Istri.
Bagaimana kira-kira perasaan Nabi Ayub?, apakah kita yang manusia biasa sanggup menghadapi dan menerima kenyataan seperti itu, terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi.
Bahkan, para umat dan pengikutnya pun sampai berpikir dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang Nabi mengalami nasib yang sedemikian berat dan mengenaskan.
Baca juga : Filosofi Pesawat Kertas
Tapi, apa yang dilakukan oleh Nabi Ayub? Pertama kali yang beliau lakukan adalah menginsyafi dirinya, memohon ampunan dan mengingat kembali segala sikap dan perilakunya, mungkin pernah ada kesalahan yang pernah diperbuat, setiap hari beliau memohon ampun kepada Allah.
Kedua, Nabi Ayub selalu mengingat segala nikmat Allah yang sebelumnya telah diberikan, bahkan, kesempatan untuk diberikan hidup dan terus bernafas di kondisi sakit parah adalah suatu anugerah yang senantiasa disyukuri oleh Nabi Ayub.
Nabi Ayub selalu yakin bahwa Rahmat Allah sangat luas dan tak terbatas, beliau selalu berprasangka baik kepada Allah, sambil terus bersabar dan berdoa memohon kesembuhan kepada Allah.
Bagaimana cara membangun mental resilience seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ayub?
Baca juga : Self Discovery : Berhenti Overthinking, Mari Kenali Diri Sendiri
Pertama, selalu berprasangka baik terhadap hidup dan kehidupan, bagi seorang muslim, tentu saja yakin kepada Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya. Ia yakin bahwa dalam kondisi apapun, selalu ada hikmah dan harapan baik, walaupun di mata kita sebagai manusia merasa sepertinya hal itu sangat mustahil, tapi, tak ada yang mustahil bagi Allah.
Ketika Allah berkehendak, segala sesuatu bisa saja terjadi, yang terpenting adalah jangan pernah berputus asa dari Rahmat Allah.
Kedua, menerima realitas hidup sebagaimana mestinya, menerima hidup sebagaimana adanya, peluk, terima dan cintailah setiap apapun yang hadir di kehidupan. Entah pahit atau manis, suka atau duka, bahagia atau derita, cinta atau pun sengsara, terima lah kehadiran mereka semua sebagaimana adanya, peluk dan cintai, terima dengan ikhlas segala hal yang terjadi dalam hidup.
"Segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara, semuanya datang silih berganti, semuanya berputar pada roda samsara, duka sementara, bahagia pun sementara, malam akan berganti siang, begitu pun sebaliknya".
Maka, jangan terlalu mengikat dan melekatkan diri kepada fenomena atau peristiwa. Peristiwa dan kejadian hidup, sifatnya adalah sesuatu yang sementara, segala sesuatu yang sementara adalah ilusi dan fana, takkan lama, cepat atau lambat pasti akan berganti.
Sedangkan, di dalam Al Quran difirmankan:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."
(QS. At-Talaq 65: Ayat 7).
Dijelaskan di dalam kitab Al Quran, bahwa segala sesuatu yang terjadi, yang menimpa atau pun diterima oleh seseorang hamba, itu kadarnya sudah diukur dan ditakar berdasarkan kemampuan hamba tersebut.
Baca juga : Inside Growth, Outside Growth dan Integral Growth
Tidak mungkin Allah Ta'ala menjadikan sesuatu untuk hambanya, jika hambanya tidak berkemampuan terhadap hal tersebut.
Ketiga, miliki circle yang baik, untuk membangun mental resilience, kita juga memerlukan circle sosial yang baik, memiliki teman yang bisa saling mendukung dan membuatmu bertumbuh, membuat pikiranmu semakin matang dan dewasa.
Sahabat sejati atau teman sejati itu bukan seseorang yang tiap hari ada dan bertemu atau bercanda tawa dengan kita, bisa jadi kita jarang bertemu, jarang haha hihi bareng, tapi, di saat kondisi tertentu di hidup kita, ia hadir dan datang tanpa pamrih, membuka lebar-lebar tangan dan hatinya, menyediakan sebaik-baiknya ruang untukmu.
Sahabat sejati adalah ia yang mau mendengarkan kamu dengan baik, dia yang tak menghakimi dirimu, dia yang mau menerima dirimu apa adanya, dia yang senantiasa membuatmu bertumbuh dan memberikan pengaruh baik untuk hidupmu, kalian mungkin jarang bertemu, tapi, sekalinya bertemu, pertemuannya sangat berkualitas dan memberikan kesan yang mendalam dan sangat berarti.
Keempat, menjadi proaktif, yaitu tetap menjaga pikiran untuk tetap tenang, kemudian mulai mencari akar masalah dan memecahkan serta mencari solusinya.
Baca juga : Prinsip 6S yang Bisa Membuat Hidup Menjadi Lebih BaiK
Pikiran punya andil dan dampak yang sangat besar, pikiran yang waswas, grasa-grusu dan tak terkendali, ibarat gemuruh dan debur ombak yang menghantam karang, kita tak akan bisa melihat apapun selain ketakutan dan kengerian.
Sedangkan, pikiran yang tenang, ibarat air danau yang jernih dan tenang, sehingga kita bisa melihat dengan jelas apa yang terkandung di dalamnya. Dengan pikiran yang jernih, kita bisa melihat masalah dengan baik dan memiliki peluang untuk mengurai dan menyelesaikan masalah tersebut.
Belajarlah untuk mengendalikan pikiran, jika perlu, pergilah ke tempat yang di mana kamu bisa menenangkan pikiran, seperti di masjid, kuil, gereja, hutan, air terjun, kamar atau tempat mana pun yang nyaman bagimu untuk menenangkan dan menjernihkan pikiran.
Atau, ada tempat yang paling baik untuk menenangkan pikiran, namun, tempat ini bukan berwujud fisik, tapi berwujud spiritual, yaitu pergilah ke dalam dirimu, selami dan berdiamlah di hatimu, beristirahatlah sejenak di dalam jiwamu, untuk mencapai "tempat ini (hati dan jiwa)", bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan latihan dan meditasi yang rutin. Temukanlah jiwamu yang sejati di dalam saja, berbagi dan berceritalah kepada aku mu yang lain, karena ada banyak lapis Aku dan ke-Aku-an di dalam diri.
(Dipa Amarta Wikrama / Sanik Radu Fatih).***