Filosofi Pesawat Kertas



SCALEUPJOURNEY - Halo sahabat baik Journian, doa dan harapan baik pasti dan akan selalu kami haturkan sedari awal sebelum sahabat Journian semua membaca artikel ini. Semoga kita semua bisa bertumbuh menjadi lebih baik di setiap harinya dan semakin mengenali diri dan menyadari makna kehidupan yang dijalani.

Sahabat Journian, pasti di antara kita semua sudah tak asing dengan mainan pesawat kertas, minimal kita pernah bermain dan membuat mainan pesawat kertas.

Kalau saya saat kecil dulu, biasanya akan lomba menerbangkan pesawat kertas dengan jarak yang paling jauh bersama teman-teman, betapa bahagia dan menyenangkannya masa tersebut, bangga rasanya saat bisa menerbangkan pesawat kertas dengan jarak yang paling jauh.


Pesawat kertas juga menjadi salah satu lirik dalam sebuah lagu yang dibawakan oleh sebuah grup musik "girl band", setelah saya renungi dan maknai, betapa dalam dan luar biasanya makna dari lirik tersebut, mereka mengibaratkan mainan pesawat kertas untuk memaknai perjalanan hidup.

Dulu, dulu sekali, saat sebelum nilai kesadaran hidup itu muncul, yang selalu dipikirkan adalah tentang bahwa "hal yang paling penting dan keren adalah pesawat yang jarak terbangnya paling jauh", dalam tanda kutip "pencapaian hidup yang paling mentereng dan wah, itu yang paling hebat dan keren".

Dahulu dan sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa hidup adalah tentang kompetisi, tentang siapa yang paling tinggi pencapaian prestasinya, yang paling riuh tepuk tangannya, yang paling ramai sanjungannya, yang paling banyak mata melihat dan menatapnya, yang di mana-mana orang mengenal namanya.

Tak ada masalah dengan hal tersebut, boleh-boleh saja jika seseorang ingin mendapatkan pencapaian dan prestasi terbaik dalam hidupnya.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika mulai membandingkan pencapaian hidup kita dengan pencapaian hidup orang lain yang kita lihat sepertinya lebih "wah dan mentereng".

Jangan bandingkan jarak terbang pesawat kertas yang kita terbangkan dengan jarak terbang pesawat kertas yang dicapai oleh orang lain. Tentu, setiap orang memiliki jalan hidup, tantangan dan masalahnya masing-masing. Tapi, coba lihatlah apa yang telah dilalui oleh pesawat kertas itu, bukan hanya sekedar melihat seberapa jauh jarak terbang yang telah berhasil dijangkaunya.


Jangan hanya melihat sudah seberapa banyak dan seberapa jauh capaian hidup yang berhasil kita raih atau dapatkan, tapi, lihatlah juga bagaimana proses dan perjalanan yang dilalui.

Ingat, hayati dan maknai bagaimana dulu mungkin kita semua harus melewati jurang kepedihan, merangkak dari lembah penderitaan, mereguk pahitnya realitas kehidupan. Dipandang sebelah mata, tak dihargai, diremehkan, dikhianati dan segala kepahitan lainnya.

Tapi, dari hal itu semua kita belajar untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya lebih baik dalam soal prestasi dan pencapaian hidup yang sifatnya materi, tapi juga lebih baik secara jiwa spiritual, etika, moral, pemikiran, sikap dan tingkah laku.

Menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih tenang, hatinya lembut, tidak grasa grusu, tidak mudah menghakimi dan menilai orang lain, lebih adem dan inginnya lebih banyak berbagi kebermanfaatan hidup.

Baca juga : Tentang Kehilangan

Bertumbuh tak harus selalu dalam hingar bingar keramaian, tak melulu harus riuh tepuk tangan, tak mesti seribu sanjung pujian atau segudang pencapaian prestasi yang gemilang.

Saat kita mulai bisa memahami dan mengenali diri dengan lebih baik, tumbuhnya kematangan diri, kedewasaan berpikir, kematangan spiritual, mampu bertanggungjawab terhadap setiap pilihan yang diambil, dan cepat belajar dari banyak kesalahan dan kegagalan. Itulah sesungguhnya bertumbuh yang sejati.

Tak apa jika ingin memilih bertumbuh dalam sunyi, tak ada yang melihat diri kita sama sekali dan nama kita tak dikenali, tak apa-apa, tak masalah sama sekali.

Cukup menjalani hidup dengan sederhana, jauh dari hiruk pikuk gengsi kompetisi. Cukup berbagi canda, tawa dan bahagia dengan cara yang kita bisa, untuk orang-orang terdekat yang kita cinta. Itu pun sudah cukup, lebih dari cukup.


Dulu, saya pernah bekerja untuk sebuah lembaga sosial, ditempatkan di sebuah kampung pelosok dan terpencil. Saya bertemu dengan seorang pemuda kampung yang di mana kami kadang sering ngobrol dan bertukar pikiran, alam pikirannya memang sederhana, begitu polos, namun tulus dan apa adanya.

Ia tak berpendidikan tinggi, bukan orang kaya, bukan dosen, bukan guru, dan ia selalu mengatakan "saya mah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa". Tapi, dari setiap apa yang dilakukan dan dikatakannya sungguh sarat makna dan memiliki arti yang dalam.

"Orang hebat itu bukan ia yang mampu mendapatkan banyak, bukan ia yang bisa memperoleh besar, tapi ia yang mampu bersyukur terhadap yang sedikit, bersabar terhadap yang sakit dan sulit, serta memiliki kemampuan untuk menyembunyikan segala kesusahan, kesakitan dan penderitaannya di hadapan orang banyak, sehingga orang lain mengira bahwa ia senantiasa bahagia, senang dan selalu cukup." (Dipa Amarta Wikrama / @Sanikradufatih).***

2 Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih banyak kak Yusi sudah mau berkunjung ke Scale Up Journey, sering-sering ya kak berkunjung ke sini. Kita bisa diskusi dan sharing bareng. semoga tulisan kami bermanfaat ya kak

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama