Berbahagia, Bersyukur dan Berterima Kasih atas Duka


SCALEUPJOURNEY - Biasanya, orang akan bersyukur karena mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan. Bersyukur atas segala nikmat dan kebahagiaan akan lebih mudah dilakukan, sebab, kondisi yang didapatkan adalah kondisi yang menyenangkan. Tapi, pernahkah kita bersyukur, bahkan amat bersyukur, berbahagia dan berterima kasih atas duka yang menimpa kita?

Bersyukur atas kenikmatan dan kebahagiaan bukanlah sesuatu yang aneh atau ganjil, sudah hal yang wajar jika ada seseorang yang bersyukur atas rasa nikmat dan kebahagiaan. Tapi, bagaimana jika ada seseorang yang ia amat berbahagia, bersenang hati, bahkan bersyukur atas duka musibah atau pun derita hidup yang dialami dan ditimpakan kepada dirinya.

Hanya sedikit, dan tak banyak manusia yang mampu berbahagia atas duka yang dialami, paling bantar adalah di level bersabar dan menerima, belum pada tingkat merasa syukur dan bahagia saat mendapatkan duka.


Berbahagia dan bersyukur atas duka bukan berarti bersenang-senang dan tak berempati pada diri atau lingkungan sekitar saat mengalami kondisi duka. Berbahagia atas duka adalah sikap tulus, penuh, ikhlas, ridho, dan keutuhan sang jiwa untuk mencintai sepahit apapun peristiwa yang terjadi pada kehidupan yang dijalani.

Berbahagia atas duka dan bersyukur untuk derita, bukan berarti kita mengabaikan rasa sakit, menolak rasa sakit atau mencari pelampiasan dan bersenang-senang. Berbahagia dan bersyukur atas duka, bukanlah demikian. Bersyukur dan berbahagia atas duka adalah mencintai sepenuhnya kejadian sepahit apapun.

Levelnya, bukan lagi sekedar mau menerima segala rasa sakit atau derita hidup yang hadir, tapi levelnya sudah naik pada tahap mencintai segala peristiwa dalam hidup, baik peristiwa bahagia maupun derita. 


Tapi, bagaimana mungkin seseorang bisa berbahagia atas duka, bukankah itu hal yang aneh dan konyol? Bagi kebanyakan orang yang awam mungkin demikian, tapi hal ini akan berbeda bagi para penempuh jalan sunyi atau salik.

Mereka yang telah menautkan dan mengarahkan kiblat hatinya semata-mata hanya kepada Ia yang Maha Kasih, mengarahkan kiblat hatinya kepada sang Maha Cinta, Sang Maha Esa yang Berkuasa dan Berkehendak atas segala sesuatu. Maka, tak ada lagi kesedihan dan penderitaan di dalam hidupnya, bahkan dirinya sudah tak dipengaruhi oleh apapun, gerak hidupnya telah ia sembah haturkan hanya kepada Allah Ta'ala.

Ia telah melampaui segala rasa, baginya, kondisi susah dan senang sama saja, dihina dan dipuji pun tiada beda. Ia telah menyadari bahwa segala yang hadir di dalam kehidupan yang dilaluinya, semua itu adalah kehendaknya, bahkan untuk setiap rasa duka dan derita.

Baca juga : 

Baginya, suka, duka, tawa, tangis, bahagia, kaya miskin, jatuh dan naiknya fase kehidupan hanyalah sekedar kondisi sementara yang diperuntukkan untuk menguji hati setiap hamba-hambannya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ٱلَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَا لْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ 

allazii kholaqol-mauta wal-hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalaa, wa huwal-'aziizul-ghofuur

"yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun," (QS. Al-Mulk 67: Ayat 2) 

Berbahagia, bersyukur dan berterima kasih atas duka, bukan berarti ia tidak merasakan sedih. Secara manusiawi, rasa sedih tentu masih dirasakan, namun, ia mampu melakukan recovery jiwanya dengan cepat, tak berlama-lama dalam rasa kesedihan, ia dengan cepat menetralkan perasaannya sebagaimana semula.***
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama