4 Titik Fase dan Pola Hidup Manusia : Awaken Point (3)


SCALEUPJOURNEY - Apa kabar sahabat Journian semua, semoga senantiasa diliputi kebaikan, diberikan ketenangan jiwa, kejernihan batin dan jalan pikir yang terang. Sehingga menjadikan sahabat Journian semua sebagai individu-individu yang senantiasa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, matang, arif, bijaksana, dan berwawasan ruhani yang luas.

Tulisan ini adalah tulisan bersambung atau series dari tulisan sebelumnya yang tercakup dalam tema besar "4 Titik Fase dan Pola Hidup Manusia", di tulisan sebelumnya, kita telah membahas tentang Titik Refleksi (Reflection Point), yaitu titik fase kedua dalam perjalanan tumbuh kembang kehidupan jiwa manusia.

Di tulisan kali ini, kita akan membahas tentang Awaken Point alias Titik Kebangkitan, yaitu titik ketiga yang akan dilalui oleh manusia dengan lika-liku kehidupan yang dijalaninya.

Awaken Point (Titik Bangkitnya Kesadaran)

Awaken Point atau titik kebangkitan yaitu adalah titik di mana kesadaran atau pemahaman seseorang telah terbuka atau mendapatkan suatu pencerahan terhadap segala peristiwa atau sesuatu yang menimpa dan dialami oleh dirinya atau oleh kehidupan yang dilaluinya.

Baca juga : 4 Titik Fase dan Pola Hidup Manusia : Reflection Point

Titik kebangkitan atau awaken point, obyeknya adalah lebih kepada kebangkitan kesadaran, terbangunnya suatu pemahaman, tercelikannya mata batin untuk bisa menangkap makna yang diwujudkan dalam perlambang, isyarat, simbol, atau yang sejenisnya yang dihadirkan dalam sebuah kejadian, peristiwa atau hal apapun yang kemudian dialami di kehidupan.

Misalnya, ketika ada pasangan suami istri yang amat mendambakan kehadiran sang buah hati, namun, dalam perjalanannya ternyata sang istri mengalami keguguran, sehingga mimpi dan keinginan menyambut dan memeluk calon sang buah hati menjadi kandas. Pada awalnya mungkin akan merasa kecewa, kesal bahkan marah dan mencari sesuatu untuk dijadikan kambing hitam atau dipersalahkan atas kejadian yang menimpa dirinya.

Tapi, ketika mereka melakukan perenungan atau saat berada di titik refleksi, mereka mencoba menjernihkan dan melihat lagi segala sesuatu dengan utuh dan apa adanya, mereka sadar, mereka mendapati hakikat sejati tentang kehidupan, yaitu mereka sadar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak selalu berjalan seperti apa yang di inginkan. Dunia dan kehidupan punya jalan dan caranya masing-masing, ada kalanya jalan antara diri kita dan dunia-kehidupan seiring sejalan. Namun, ada kalanya dunia dan kehidupan pun menempuh jalan mereka sendiri-sendiri, yaitu jalan yang tidak sama dengan jalan yang kita inginkan dan lalui.

Sampai pada akhirnya, mereka pun menangkap sasmita atau petunjuk, atau cahaya kebenaran, bahwasanya apapun yang terjadi dan dialami di kehidupan yang dilalui, semua adalah baik adanya, tak pernah ada yang tak baik, semuanya selalu baik. Tanpa menghakimi suatu kejadian atau peristiwa tersebut, tak ada penilaian apapun, mengosongkan segala prasangka, tak ada penilaian baik atau buruk, yang diyakini oleh pasangan tersebut adalah bahwa segala sesuatu adalah baik adanya dan benar adanya berdasarkan kehendak-Nya.

Namun, setelah dari pada kejadian menyakitkan dan menyedihkan itu (keguguran), mereka memilih sikap untuk terus mengembangkan ruhani dan jiwa mereka menjadi lebih baik, lebih sabar dan tabah, memperbaiki segala apa yang menjadi kekurangan atau cela yang menyebabkan mereka mengalami kejadian nahas tersebut.

Misalnya, di antara penyebab mereka mengalami hal nahas tersebut (keguguran), mereka menyimpulkan sendiri bahwa mungkin disebabkan karena kurang menjaga pola hidup sehat, itikad dan sikap batin yang kurang berkenan, kebiasaan diri yang tidak sehat, dan lain sebagainya. Setelah menyadari hal itu, akhirnya mereka mencoba memperbaiki semuanya, satu demi satu, yaitu menjaga pola hidup sehat, melatih itikad batin dan sikap yang lebih matang, tenang dan sabar, serta menghindari kebiasaan dan hal-hal yang bisa mendatangkan keburukan pada diri.

Baca juga : 4 Titik Fase dan Pola Hidup Manusia : Falling Point Phase atau Fase Titik Jatuh

Menderita  atau bahagia, gagal atau menang, suka maupun duka, naik atau jatuh, kalah atau menang, semua itu adalah baik adanya dan benar adanya sebagaimana mestinya.

Sebab, itu semua adalah pengejawantahan dari nama-nama mulia dari pancaran agung sang pemilik kehidupan, Ia Sang Maha Meninggikan sekaligus Maha Menjatuhkan, Maha Memberi Petunjuk sekaligus Maha Menyesatkan (Al-Mudhil) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, Ia Maha Pengasih dan Penyayang sekaligus Maha Penghukum dan Maha Penyiksa. Maha Pemberi Nikmat sekaligus Maha Pencabut Nikmat, Maha Lembut sekaligus Maha Kuat.

Maka, dengan demikian, entah itu kebahagiaan, cinta kasih, duka luka, derita, sakit, kejatuhan, ditinggikan derajat, jatuhnya derajat, diberikan kenikmatan atau pun diberikan kepedihan dan tangis penderitaan di kehidupan ini, itu semua pada dasarnya adalah bersumber dari Dzat yang Esa, yaitu sang Pemilik Agung Kehidupan, Tuhan sekalian Alam.

Tentu, pancaran dari setiap nama-nama agung yang mengejawantah menjadi sebuah lika-liku peristiwa kehidupan, itu semua pasti memiliki arti, makna, maksud dan tujuan.

Tidak mungkin dan amat mustahil jika itu semua terjadi tanpa ada maksud dan tujuan, segala perlambang nama agung dan mulia yang memancar dan mengejawantah menjadi lika-liku roda kehidupan, sesungguhnya memiliki maksud dan tujuan.

Baca juga : Sejati Ning Urip dan Zaman Edan

Jika kita tak mampu dan tak bisa menangkap makna hakiki atau hakikat sejati dari setiap peristiwa hidup yang dilalui, maka kita akan semakin jatuh kepada jurang kebingungan bahkan kebodohan, kekesalan, kekecewaan dan kebencian buta terhadap segala sesuatu.

Segala putaran roda kehidupan yang dilalui, pada dasarnya adalah untuk menguji  mengajarkan dan membimbing kita agar senantiasa menjadi makhluk yang berkesadaran, yang memiliki akal budi dan jiwa yang terbimbing, agar kita bisa menjadi makhluk yang pantas menghuni dan bahkan memimpin kaum di antara golongannya masing-masing.

Jika kita bisa menangkap isyarat makna pembelajaran dengan baik dari setiap roda kehidupan yang naik turun, yang melindas namun juga mengantarkan kita pada setiap perjalanan, maka kita akan beroleh kehidupan yang sejati.

Ketika kita mampu menangkap dan memahami isyarat yang hakiki dari roda kehidupan, maka hal itu bisa menjadikan kita sebagai makhluk yang berkedudukan tinggi (adimanusia) yang tak terikat lagi pada selubung peristiwa, kejadian atau pun kabut maya kehidupan dunia.

Baca juga : Rahasiakan Hidupmu

Kita tak akan terombang-ambing, tak akan mudah kecewa, tak akan cemas, tak akan khawatir, bahkan tidak takut dengan berbagai kondisi hidup yang dialami. Namun, walau demikian, untuk menapaki tangga kesadaran dan pemahaman hidup, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, ada banyak perjalanan yang penuh rintangan, pengalaman hidup dan tekad yang kuat untuk terus belajar dan menempa diri.

Namun, yang harus diperhatikan dengan jelas di sini adalah terkait perbedaan dari roda kehidupan yang berupa luka derita, sakit pedih, kejatuhan, kebahagiaan, cinta kasih dan suka duka yang dialami oleh mereka yang tercelikan, yang terbuka pemahaman dan kesadaran batinnya atau yang awaken point, dengan mereka yang terjerumus dalam jurang al wahm (angan-angan), atau terhijab dari menangkap isyarat makna kehidupan, adalah tercermin dari bagaimana sikap laku hidup yang ditunjukkan dan dijalaninya.

Mereka yang tercelikan, yang bisa menangkap isyarat makna kehidupan atau awaken point, maka ketika menghadapi berbagai gilasan roda kehidupan, yang entah peristiwa manis atau pahit, suka atau duka, menyenangkan atau menyakitkan, bahagia atau pun derita.

Maka, hal itu semua akan menjadikan mereka sebagai pribadi yang lebih tenang, arif, sabar, teguh dalam tekad, semakin berhati-hati dalam bersikap, berucap, atau bertingkah laku yang sekiranya bisa merugikan dan bisa menyakiti orang lain akan mereka hindari. Senantiasa menjaga dirinya agar terhindar dari perilaku yang nista, menjauhkan dirinya dari perangai buruk serta memancarkan sikap arif dan bijaksana.

Baca juga : Everything in Life is Not Easy

Walau pun terkadang misalnya sering kali terlihat oleh kita  jika tingkah mereka sering kali konyol, terlihat bodoh, bertingkah aneh, atau mahjub (nyentrik), itu semua tidak menghalangi pancaran sikap bijaksana, kedewasaan, kematangan jiwa, kemapanan ruhani mereka. Bisa jadi sikap mereka demikian karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang yang "wah, hebat, bijaksana, berwawasan luas, atau tidak ingin dipuja-puji dan dianggungkan, mereka lebih nyaman menjadi sebagaimana adanya, bahkan, sering kali mereka lebih suka dianggap rendah dan remeh dibandingkan dipuja-puji".

Misalnya, saya pernah menemukan seseorang yang jika bicara senantiasa menggunakan kata-kata yang terkesan kasar, tingkahnya kadang aneh, dan membuat kita menganggap jika orang itu sepertinya bodoh. Namun, itu semua tetap tidak bisa menutupi pancaran kebijaksanaan, keluasan, kerendahan hati dan jiwa mereka yang terang.

Contoh kejadiannya adalah berikut ini, ada dua orang yang kita sebut saja, Jahod Waskita dan Kamil Mutakabbur, mungkin dari namanya saja sudah banyak yang berprasangka atau menerka jika Jahod adalah sesuatu yang buruk, rendah, dan jelek sebab namanya jadul dan tidak keren. Sedangkan Kamil, disangkakan sebagai baik, berilmu, berpendidikan dan bagus rupawan.

Baca juga : Turning Point and Rise Up

Pada faktanya, secara lahiriyah atau zahir yang terlihat oleh mata wadag, memang demikian adanya, Kamil adalah seorang yang berpendidikan tinggi, sarjana, memiliki fisik yang rupawan dan indah dipandang.

Sedangkan, Jahod, hanya orang biasa saja, fisik seadanya, pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi. Tapi, bukan berarti ilmu tidak masuk kepada orang yang tampilannya demikian, ilmu akan masuk dan memancar dari diri seseorang atau siapa pun yang mau belajar dan mengamalkannya.

Kamil, walaupun berpendidikan tinggi, sarjana, bahkan good looking dan kaya raya, namun ia selalu dihindari oleh banyak orang, entah secara terang-terangan atau diam-diam, banyak yang membencinya. Ilmu yang didapatkan dari pendidikan tinggi dan gelar sarjana yang dimilikinya, ternyata tidak nampak sama sekali dalam dirinya, tidak memancar dalam dirinya.

Kamil adalah orang yang penuh dendam, picik, pemarah, penuh tipu daya, selalu ingin dipuja-puji, marah jika direndahkan, ingin selalu diagungkan, suka merendahkan orang lain dan senang meninggikan dirinya sendiri.

Jika mendapati masalah dalam hidupnya, ia akan menyalahkan orang lain, menyalahkan Tuhan, menyalahkan keadaan, bahkan menyalahkan segalanya tanpa pernah mau melakukan koreksi dan intropeksi diri, ia tidak pernah mau belajar dari roda kehidupan yang dilalui. Maka, sesungguhnya yang demikian adalah mereka orang-orang yang terjerembab kepada jurang angan-angan keakuan diri, mereka adalah orang-orang yang gagal menangkap isyarat dan makna kehidupan.

Sedangkan, Jahod, walaupun rupanya seadanya, bahkan terkesan hidupnya susah dan terkesan miskin, namun, ia adalah orang yang senantiasa belajar dan menangkap isyarat dari makna kehidupan yang dijalani. Sekali pun ia sering dihinakan, dianggap remeh, dipandang sebelah mata, dicaci maki dan direndahkan oleh orang-orang berpikiran kerdil yang menganggap dirinya tinggi. Jahod, tak sedikitpun kesal, marah atau benci.

Ia membuka hatinya seluas samudera, membuka tangannya lebar-lebar untuk menyambut segala peristiwa yang hadir di dalam hidup. Ia mudah memaafkan, senantiasa menolong siapapun yang meminta bantuan dengan segala kemampuan yang dimilikinya, menolong mereka yang kesulitan dan kesusahan walaupun dirinya sendiri sedang kesulitan.

Ia selalu merasa malu dan tidak suka dipuja-puja atau disanjung, senantiasa rendah hati, merasa dirinya tidak sebaik apa yang orang lain katakan. Ia amat malu ketika dirinya dianggap bijaksana dan memiliki wawasan yang luas, sekali pun kisah kebaikan dan kebijaksanaan akan dirinya tersebar luas dari mulut ke mulut dan itu adalah fakta, ia amat merasa malu akan hal tersebut dan merasa belum pantas jika hal tersebut disematkan pada dirinya. Ia masih merasa sebagai orang yang bodoh, fakir dan bukan apa-apa, sehingga membuatnya senantiasa terus belajar dan memperbaiki diri.

Baca juga : Tak Ada Kehidupan yang Sempurna

Perbedaan dari titik awaken point yang dialami oleh mereka yang bisa menangkap isyarat makna pembelajaran hidup dengan baik, adalah yaitu setiap peristiwa hidup yang dialami semakin membuat mereka tersadarkan, tercerahkan, terbimbing menjadi pribadi yang lebih arif bijaksana, berwawasan luas dan membuat jiwa mereka tenang.

Sedangkan, bagi mereka yang tertutup, terselimuti oleh kabut asap gelap duniawi, yang enggan dan tak mau belajar dari kehidupan, setiap peristiwa yang dialami justru malah membuat mereka semakin terperangkap dalam rasa waswas, penuh curiga, kecewa, kemarahan, dendam, kebencian, luka derita, sombong, angkuh, suka merendahkan, senang dipuji-puji, dan perangai nista lainnya.

Jika setiap peristiwa hidup entah baik atau buruk, suka atau duka, menderita atau bahagia, kemudian membuat jiwanya semakin lembut, anggun, tenang, arif, bijaksana, maka itu menjadi ciri dan tanda bahwa orang tersebut telah berhasil menangkap isyarat dan makna kehidupan, ia adalah orang yang mau belajar dari setiap peristiwa dan kejadian hidup dengan baik.

Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu jika peristiwa kejadian hidup tersebut malah membuat tingkah lakunya semakin kacau dan menuju jurang kenistaan, semakin membuatnya angkuh, sombong, berbangga-bangga diri yang berlebihan, memunculkan keserakahan, ketamakan, kemarahan, kebakhilan, kekecewaan, kelicikan, keculasan dan ketengikan sikap, maka itu bisa menjadi tanda jika orang tersebut gagal menangkap isyarat dan makna kehidupan yang terjadi dan dialami oleh dirinya.

Ia tak mampu menangkap isyarat dengan baik dari makna dan peristiwa kehidupan yang dialaminya. Sekalinya jatuh, ia akan jatuh terperosok ke jurang kehancuran yang paling dalam, yaitu jiwa yang hancur berkeping-keping, terombang-ambing di tengah samudera kegelapan dan kabut dunia yang menyesakan. (@sanik_rdfth)***

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama