Sejati Ning Urip dan Zaman Edan

SCALEUPJOURNEY - Rahayu berkah selamet sahabat Journian semua, lama rasanya kita tidak jumpa, mungkin hampir satu bulan lamanya Scaleupjourney.my.id kosong dari peredaran sahabat semua, tapi kini kami telah kembali. Semoga kehadiran kami senantiasa membawa manfaat dan kebaikan bagi para Journian semua.

Kali ini, kita akan sedikit membahas filosofi terkait "sejati ning urip" atau kehidupan yang sejati, se-murni-murninya, se-hakiki-hakikinya kehidupan dalam konsep sejati ning urip.

Dunia saat ini sudah sangat riuh, bising dan penuh keributan alias zaman edan, banyak aparat menjadi keparat, banyak pemuka agama berkhianat, yang menunjukkan kebenaran dianggap sesat, yang sesat dipuja-puji, bukannya diluruskan agar kembali pada yang benar, tapi malah dibiarkan dan malah ditenarkan, diviralkan diagung-agungkan.

Baca juga : Rahasiakan Hidupmu

Selain itu, tak disangka-sangka, di zaman yang sudah modern seperti ini, yang kita menganggap zaman penuh peradaban, ternyata peperangan senjata antar negara pun masih mungkin terjadi, seperti yang bisa kita lihat di konflik Ukraina vs Rusia, yang kemudian membawa banyak dampak bagi kehidupan global, baik skala makro maupun mikro, yang bisa menyebabkan krisis.

Kondisi krisis saat ini terutama sudah dialami oleh negara-negara Eropa, saat ini nasib warga negaranya mengalami kondisi yang tak menentu.

Belum ditambah lagi dengan banyaknya berbagai kasus aneh bin ajaib yang saat ini kerap kali muncul di kehidupan dunia nyata maupun dunia maya. Mulai dari kasus rekayasa pembunuhan tingkat atas, gejolak politik, pandemi, perang bisnis, perang ekonomi, perang opini serta berbagai permasalahan lainnya.

Baca juga : Everything in life is not Easy

Jika melihat kondisi dunia saat ini, sepertinya agak skeptis, apa yang bisa diharapkan di kondisi dunia saat ini?.

Harga pangan semakin melonjak, krisis iklim dan bencana mulai menghantui, belum lagi konflik politik yang bisa menyebabkan peperangan dan sanksi-sanksi antar negara dan kawasan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat atau warga negara, terlebih masyarakat kelas bawah.

Jika dilihat dari sudut pandang pesimistik, sepertinya tak ada yang bisa diharapkan dari kondisi dunia saat ini, semuanya serba kacau dan berantakan. Mulai dari kekacauan karena pandemi global, perang militer, perang sanksi ekonomi, konflik sosial, krisis iklim dan berbagai kejahatan yang dimulai dari kejahatan receh sampai kejahatan tingkat tinggi. Intinya, dunia saat ini sungguh kacau balau, absurd dan tak ada harapan yang cerah, semuanya terasa gelap saja.

Baca juga : Turning Point and Rise Up

Hal-hal yang tidak berguna atau nir-makna, bisa dengan cepat viral dan dipuja-puja, dipuji-puji, tapi cepat juga untuk dicaci maki. Amat banyak hal-hal absurd terjadi, dari fashion week di zebra cross sampai dukun berkedok agama, sungguh kacau.

Di tengah kondisi dunia yang semakin absurd dan kacau, dibutuhkan kewarasan untuk menghadapinya, jika tidak, bisa-bisa kita akan ikutan gila, menjadi orang-orang gila atau tanpa sadar menjadi orang gila yang sakit jiwa.

Maka, untuk kondisi zaman dan kehidupan yang serba absurd ini, yang mesti kita perhatikan adalah kesejatian hidup itu sendiri, hakikat dan makna, posisi serta peran kita di hidup ini untuk apa? Itulah yang mesti kita gali kembali.

Baca juga : Tak Ada Kehidupan yang Sempurna

Semuanya sibuk mencari validasi, pengakuan eksistensi, kehormatan, penghargaan dan segala tetek bengek penilaian manusia.

Padahal, sejatinya hidup itu sangat sederhana, yaitu hidup alamiah sebagaimana adanya, cukup menjadi manusia seutuhnya, tenang, sederhana dan apa adanya, menikmati setiap momen dan anugerah kehidupan di setiap harinya, mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian (bagi mereka yang percaya terhadap konsep akhirat).

Sejatinya, hidup di dunia ini hanya menunggu giliran mati, coba kita bayangkan, sungguh tak terasa mungkin usia kita sekarang telah melewati belasan dan puluhan tahun, yang padahal kita merasa baru kemarin kita berusia 17 tahun, tahu-tahu sekarang sudah hampir 30 tahun mungkin.

Baca juga : Law of Life 1 : Reaksi Sesuai Aksi

Sejati ning urip, sejatinya hidup adalah menunggu mati, hanya saja, sebelum kita mati, kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani.

Hakikatnya hidup adalah yang penting tercukupi makan, hidup sehat, tenang dan bahagia, yang kesemuanya itu tidak terikat pada materi, bukan bersumber pada sesuatu yang ada di luar diri, tapi kebahagiaan dan ketenangan yang berasal dari dalam diri.

Bagaimana caranya agar hidup, bahagia dan tenang? Hiduplah berdasarkan kesadaran akal yang sehat, dengan pikiran yang tenang, mengikuti aturan dan menjalankan hidup berdasarkan nilai fungsi, bukan berdasarkan gengsi dan standar penilaian manusia.

Baca juga : Sabila Bertanya Tentang Masa Depan

Contohnya gini deh, semuanya ingin berlomba-lomba punya rumah mewah, mobil mewah, jabatan tinggi dan lain sebagainya. Padahal, fungsi mobil itu semuanya sama saja, namun, kita terpatok kepada penilaian manusia, "wah kalau punya mobil ini aku akan dianggap keren dan kaya" atau misalnya "Wah kalau HP nya iPhone, prestise dan kelas sosialku naik nih".

Padahal, fungsi semua mobil pada intinya sama saja, sebagai alat transportasi. Begitu pun dengan smartphone, pada dasarnya, semua smartphone fungsi dasarnya sama saja, yaitu untuk komunikasi.

Tapi, semua berlomba-lomba untuk sesuatu yang tidak penting, yaitu penilaian manusia. Mau mobil biasa aja atau mobil mahal, kalau fungsi dasarnya sama saja, sebenarnya sudah cukup.

Baca juga : Perempuan Bukan Pelayan, Kami adalah Mitra Untuk Bersama-sama Bertumbuh dari Pemikiran Simone De Beauvoir

Begitu pun dengan rumah, bukannya tidak boleh memiliki rumah mewah, silakan saja jika mampu dan itu dibutuhkan, silakan miliki rumah mewah, tak ada masalah.

Hanya saja, jika sesuatu itu tidak terlalu kita butuhkan atau jika sesuatu tersebut nantinya bakal menyusahkan kita, lalu untuk apa kita menyusahkan diri sendiri untuk hal tersebut jika memang kita belum mampu.

Intinya, hidup yang sederhana, secukupnya, seperlunya, seadanya, semampunya, kemudian nikmati hidup dan berbagi lah banyak hal baik semampu yang kita bisa. (Dipa Amarta)***

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama